NIM : 1811103010109
MK : HUKUM LAUT DAN PERATURAN PERIKANAN
Kamis, 19 Maret 2020
IKAN SIDAT, PRIMADONA KULINER JEPANG DARI INDONESIA
# Perairan
Indonesia menjadi salah satu tempat di dunia yang menjadi lokasi berkembang biak
ikan sidat (Anguilla spp). Ikan
tersebut memiliki rupa seperti belut sawah (Manopterus
albus) yang popular di Indonesia dan biasa ditemukan di rawa atau di sawah.
# Walau tidak populer di Indonesia, sidat
mendapat tempat istimewa pada kuliner Negara-negara Asia Timur, terutama
Jepang. Di sana, ikan tersebut dikenal dengan sebutan Unagi dan menjadi kuliner
kesukaan warga jepang.
# Terus meningkatnya permintaan, maka tangkapan
di alam juga meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu, agar sidat bisa tetap bertahan
di alam, pemerintah indonesia menyusun rencana pengelolaan perikanan (RPP)
Sidat yang penyusunannya dilakukan bersama Badan Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Nama ikan Sidat
(Anguilla spp.) bagi sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini masih
terdengar asing. Ikan yang bisa hidup di perairan air tawar dan asin itu, masih
kalah populer dibanding jenis ikan lainnya di perairan Indonesia. Bahkan, meski
fisiknya menyerupai belut sawah (Monopterus albus), Sidat tetap belum mendapat
tempat di masyarakat Indonesia.
Padahal, ikan
tersebut popularitasnya sangat tinggi di negeri Asia Timur, seperti Jepang,
Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dan Taiwan. Bahkan, khusus di Jepang, Sidat
menjadi santapan favorit warganya dan dikenal dengan sebutan Unagi. Maka itu,
tak heran jika orang Indonesia lebih mengenal sebutan Unagi ketimbang Sidat.
Sebagai ikan yang
bisa hidup di hawa tropis, Sidat diketahui sudah dikembangkan oleh banyak
pelaku usaha perikanan. Namun, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
dari semua provinsi, Jabar dan Jateng yang sangat serius mengembangkan
komoditas bernilai ekonomi tinggi itu.
Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengatakan, di Jabar pengembangan Sidat
dipimpin oleh Kabupaten Sukabumi, sementara di Jateng dilakukan oleh Kabupaten
Kebumen dan Kabupaten Cilacap. Ketiga daerah tersebut, kemudian dijadikan
sebagai pusat pendataan untuk pengembangan Sidat di Indonesia.
Menurut Zulficar,
pendataan harus dilakukan dengan segera dan cepat, karena pemanfaatannya terus
meningkat setiap tahun. Bahkan bisa terancam punah bila jumlah penangkapan
sidat dari alam tidak diatur.
“Ikan ini memiliki
nilai ekonomi yang tinggi, karena permintaan ekspor yang tinggi dari negara
Asia Timur, namun justru pasokannya sangat terbatas. Tak heran, harganya pun
menjadi mahal,” ucapnya, pekan lalu di Jakarta.
Zulficar mengakui,
permintaan yang tinggi tersebut, mengakibatkan pelaku usaha penangkapan
melakukan berbagai cara agar pasokan untuk ekspor bisa tetap ada, termasuk
dengan mengambil Sidat secara langsung dari perairan umum. Sidat yang ditangkap
dari alam tersebut, kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran yang layak untuk
diekspor.
Ikan Sidat (Anguilla
spp.) yang tidak begitu populer di Indonesia, tapi diminati dan jadi kuliner local
favorit di jepang bernama Unangi.
Tangkapan Alam
Terus meningkatnya
penangkapan di alam, bisa terjadi karena hingga saat ini Sidat belum
dibudidayakan pada tingkat hatchery (pusat pembenihan) dan itu mengakibatkan
para pelaku usaha sangat bergantung pada benih yang ada di alam. Maka itu tak
mengherankan jika ketersediaan Sidat di alam dari tahun ke tahun saat ini
sedang terancam.
Salah satu upaya
untuk mencegah terjadinya penurunan Sidat di perairan, kata Zulficar, adalah
dengan menyusun kebijakan, aturan, dan upaya-upaya pengelolaan untuk mewujudkan
sumber daya ikan Sidat bisa berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, diperlukan dukungan
ketersediaan data statistik sebagai bahan analisis.
“Pendataan benih
ikan Sidat antara lain menyangkut volume produksi, lokasi, spesies, alat
tangkap yang digunakan, perahu/kapal yang digunakan, dan lain-lain,” ungkapnya.
Bentuk pendataan,
dilakukan dengan fokus pada tiga lokasi di Jabar dan Jateng tadi, dan hasilnya
didapatkan data bahwa Sidat yang diperoleh dari alam kemudian dibudidayakan
oleh nelayan untuk dijual kemudian dengan harga yang bervariasi. Pendataan di
tiga lokasi tersebut sudah berjalan dalam dua tahun terakhir.
Dari hasil validasi
data, menunjukkan jika dibandingkan dengan periode sama pada 2018, hasil
tangkapan Sidat di Cilacap pada Semester I 2019 meningkat hingga 23 persen,
Kebumen meningkat hingga 536 persen, dan Sukabumi turun hingga 37 persen. Untuk
penurunan tersebut, diduga kuat karena faktor musim kemarau yang lebih panjang
dibanding tahun sebelumnya.
“Juga karena sungai
mengering, sehingga benih Sidat tidak masuk ke sungai,” tambahnya.
Benih ikan sidat yang diambil dari maura Sungai Cumandiri,
Sukabumi, Jabar.
Zulficar
mengatakan, potensi ekonomi yang tinggi dari Sidat, bisa dilihat dari harga
jual di tingkat nelayan yang bisa mencapai Rp1,8 juta per kilogram. Sidat yang
dijual tersebut, didapat dari hasil menangkap di air dengan menggunakan alat
tangkap anco dengan perahu tanpa motor dan motor tempel.
Pendataan Sidat
yang sudah berlangsung, diperlukan untuk memenuhi kebutuhan data yang runtun
waktu, konsisten, dan teratur. Selama ini, pendataan Sidat di Indonesia hanya
fokus untuk konsumsi saja, sementara pendataan benih belum optimal dilakukan.
Upaya pendataan tersebut, mendapat dukungan penuh dari Badan Pangan dan
Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Menurut Zulficar,
kerja sama dengan FAO dilakukan untuk menyusun rencana pengelolaan perikanan
(RPP) Sidat di Indonesia agar bisa terwujud pengelolaan perikanan secara
berkelanjutan di perairan darat. Sementara, untuk pengelolaan di perairan laut,
itu sudah dilakukan oleh Indonesia sejak beberapa tahun lalu dan berfokus ke
wilayah pantai Selatan Jawa.
Rencana Pengelolaan
National Project
Manager FAO iFish Toufik Alansar menjelaskan, penyusunan RPP untuk Sidat memang
mendesak untuk dilaksanakan. Dengan adanya RPP, maka pengelolaan Sidat bisa
berjalan lebih baik lagi dan berkelanjutan. RPP dibuat, juga supaya perikanan
Sidat Indonesia bisa terus bermanfaat secara ekonomi dan lestari untuk
masyarakat.
Menurut Toufik, di
dalam dokumen perencanaan pengelolaan ikan dengan tinggi tersebut, berisi
arahan dalam pengelolaan perikanan Sidat yang bertanggung jawab. Adapun,
penyusunan RPP memperhatikan prinsip-prinsip ekologi, biologi, sosial-ekonomi,
dan kelembagaan yang mengedepankan kearifan lokal. Untuk perencanaan
pengelolaan, disusun bersama dengan seluruh pemangku kepentingan.
Kepala Seksi
Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Perairan Darat KKP Dony Armanto menambahkan, RPP
adalah kesepakatan yang dibuat antara Pemerintah Pusat maupun daerah, pelaku
usaha, nelayan, pembudi daya, peneliti, akademisi, dan pemerhati lingkungan.
Kesepakatan tersebut bertujuan untuk membangun pengelolaan perikanan Sidat
Indonesia bertanggung jawab dan lestari.
Adapun, RPP akan
berlaku secara nasional jika dokumennya sudah final untuk kemudian
disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan, dengan maksud agar dokumen
tersebut bisa menjadi acuan dalam mengelola perikanan Sidat secara bertanggung
jawab. Mengingat akan menjadi acuan, maka RPP harus bisa mewakili seluruh elemen
dan kepentingan dalam pengelolaan perikanan Sidat.
“Ke depan masih ada
empat pertemuan besar yang tiga diantaranya akan dilakukan di lapangan, dan
akan dibagi menjadi tiga wilayah, (yakni) wilayah barat, tengah dan timur.
Harapannya, 2019 draf dokumen final (dan) dapat diselesaikan,” sebut dia.
Dony menjelaskan,
sebelumnya sudah ada RPP perikanan Sidat di Indonesia, namun wilayah
pemantauannya hanya fokus di sepanjang pantai Selatan Jawa. Padahal, potensi
Sidat sudah ada di berbagai provinsi, seperti Poso (Sulawesi Tengah), Bengkulu,
Aceh, Lampung, dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara).
Salah satu contoh
penerapan RPP Sidat di masa mendatang, kata dia, adalah dengan membangun sistem
pemantauan dan pendataan hasil tangkapan perikanan Sidat Indonesia, membangun
kawasan perlindungan, serta penerapan hukum terkait aturan dalam penangkapan
dan perdagangan Sidat. Penerapan tersebut, akan memperkuat posisi Indonesia di
pasar Sidat internasional.
Hal itu, karena
saat ini Indonesia menjadi salah satu negara penghasil Sidat terbesar di dunia,
khususnya jenis Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla marmorata. Status
tersebut bisa didapat, karena selama ini Indonesia menjadi salah satu eksportir
utama Sidat ke Jepang, dan selalu berhasil memenuhi permintaan dari negara
tersebut.
“Perusahaan asing,
terutama dari Jepang, juga menganggap kalau populasi Sidat di Indonesia masih
banyak. Makanya, mereka mengimpor Sidat dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
mereka,” tuturnya.
Di sisi lain,
anggapan dari para pelaku usaha dari luar negeri tersebut dinilai ada benarnya.
Tetapi, menurut Dony, jika dibandingkan dengan dua puluhan tahun lalu, populasi
Sidat di Indonesia sudah mengalami penurunan di perairan umum. Penyebabnya,
karena terjadi kerusakan habitat, penangkapan berlebihan,pencemaran, hingga
pembangunan bendungan.